Friday, June 15, 2007

Belajar Dialog dan Berdiplomasi

Memimpikan Muslim yang Menyejukkan

Sewaktu gonta-ganti chanel kurang lebih jam 00.10 gw nyangkut di Trans 7 yang sedang menampilkan the phenomena "Inu Kencana" dan seorang Pimpinan Pondok Pesantren. Gw penasaran, kenapa Inu berhadapan dengan seorang Kyai?? Bukannya beliau biasanya disandingkan dengan anggota DPR, komnas "something" or orang-orang IPDN?? Yang mencengangkan dari diskusi semalem adalah betapa sang Kyai berbicara dengan nada penuh emosi menanggapi tulian Inu tentang penistaan Al Qur'an oleh salah seorang dosen IPDN.

Ketika sang pembawa acara bertanya "kenapa bukan pelakunya yang Bapak konfirmasi?"
Pak Kyai menjawab kemana-mana sampai beberapa kali diluruskan dan masih dengan berapi-api menjawab "saya tanya ke Inu dulu, karena dia ini sumbernya, masalah ET, EH itu bukan urusan saya bla bla.." yang intinya Pak Inu tidak boleh menyebarkan berita fitnah apalagi dalam bentuk buku, beda dengan koran yang sekali tayang langsung dibuang sedangkan buku bertahan sangat lama sehingga fitnahnya berkepanjangan.

Pak Kyai juga mempermasalahkan bukti foto perzinahan yang dimiliki ini karena dianggap foto itu bisa direkayasa, "kepala kucing aja bisa diganti manusia" kata beliau. Tapi ketika pembicaraan berkembang di masalah perzinahan, pak Kyai segera menegaskan bahwa yang dipermasalahkan beliau bukan perzinahan itu tapi masalah penistaan Al Qur'annya. "Kalo memang betul-betul kelihatan ada yang telanjang bulat, menginjak-injak Al Qur'an sambil bernyanyi azerehe, ada fotonya, itu baru betul...." (**gw inget krn sempet merekam di HP)

Apakah ada yang menyadari adanya kontradiksi dalam pernyataan beliau?? Ketika ada bukti foto beliau bilang tidak mempercayai karena jaman sekarang hal itu bisa direkayasa tetapi ketika ada pernyataan tanpa bukti beliau meminta ada foto sebagai bukti. Halllouwww???!! Kalo tidak bisa mengeluarkan buku untuk menjawab, menyanggah atau mempertanyakan kebenaran tulisan Inu, kenapa kita tidak berdiskusi aja dengan kepala dingin? Adu argumen itu penting dalam dialog, tapi yang lebih penting bagaimana kita menyampaikan argumen sehingga bukan hanya lawan bicara kita terpengaruh pendapat kita tetapi juga audens terbawa atmosfer yang kita ciptakan.

Beberapa hari yang lalu gw baru aja ngobrol ma heny masalah kelemahan umat islam dalam berdialog dan berdiplomasi, begitu mudah terprovokasi dengan emosi meledak-ledak sampai melakukan tindakan-tindakan anarkis. Dimana tauladan Nabi yang santun dalam berbicara dan menyikapi perbedaan?? Kenapa tidak membiasakan berdialog dengan tutur kata yang menyejukkan, kalo yang ada cuma emosi bukankah akhirnya cuma debat kusir?? Di milis pembaca novel pernah ada yang menyinggung tentang fenomena "The Da Vinci Code" dia melontarkan pertanyaan "kalo yang di usik Dan Brown umat islam, apa buku ini bisa terjual bebas dan apakah Dan Brown masih bisa hidup tanpa takut terintimadasi??"

Mungkin gw cuman Islam KTP yang keimanannya ga' sedahsyat orang-orang yang berjuang atas nama Islam dan sangat merindukan nuansa Islami yang bukan berbusa-busa di mulut dengan kata-kata kasar dan menghujat sana-sini. Seandainya gw terlahir Non-Islam lalu melihat tingkah polah umat Islam yang meneriakkan "Allahuakbar" sambil melempari gedung atau membakar ban, gw tidak akan bersimpati sedikitpun dengan agama Islam. Sekarang ini pergerakan untuk kembali ke Al Qur'an sering diidentikkan dengan kembali pada kehidupan di jaman Nabi Muhammad, tapi banyak yang melupakan apa yang seharusnya di contoh dari sosok mulia ini.

**gw lagi mabok kali yee nulis beginian

2 comments:

-Fitri Mohan- said...

seandainya profesi kyai di negeri kita itu didapat tak hanya dengan hafal al quran dan hadits, tapi juga paham konteks dan kedalaman intelektual...

Anonymous said...

katanya mo ngirim rekamannya, mana?? seruan mana ama perseteruan DBR & ratna sarumpaet??

Disini, untuk Sebuah Janji

Generasi masa kini mungkin telah memiliki pemikiran yang terbuka dalam mendefinisikan kewajiban anak kepada orang tua. Dari banyak opini di ...