Wednesday, June 23, 2010

It's Always You (02)

It's Always You (01)

Dalam sujudku semua kegundahanku meluruhkan airmata yang telah kutahan sepanjang perjalanan meninggalkan kantor hingga suara adzan ashar menyelamatkanku. Aku memilih berdiam diri lebih lama di rumah Tuhan menjernihkan pikiran, ah.... selalu saja aku baru mengingat-NYA saat tidak bisa memahami diri sendiri. Mungkin karena kadar keimananku seburuk kadar polusi udara Jakarta, aku tidak pernah menemukan jawabannya. Jawabannya hanya ada dalam telfon genggamku dengan menekan 1 dari 3 nomor yang paling mungkin aku hubungi. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang menghabiskan liburan ini dengan kameranya. Kuhubungi 1 nomor lainnya

“Hello tante.. ini masih dikantor kah?” 
Suara nan renyah itu menyapaku dengan backsound ke-2 bidadari kecilnya yang sepertinya sedang berebut mainan.
"Ngga’, ini sudah dalam perjalanan pulang. Gimana liburannya Ri, sepertinya lagi heboh nih”
"Hehhh ya gitu deh ponakanmu.” 
sekarang keributan itu menjelma jadi suara tangisan yang memekakkan telinga. Aku menelfon bukan di saat yang tepat
"Besok lagi aku telfon deh, urus dulu tuh anakmu. Met liburan ya"
"Hahaha…  iya nih. Nanti qt sambung lagi, ati-ati dijalan ya Tik. Kamu juga harus ambil waktu buat berlibur ya. Bye Bebek Jelek…"
"Bye bye Beruang Madu"
Tawa renyah sahabat dari masa kecil masih terdengar diujung telelpon, ingin rasanya terus mendengarkan ocehannya bahkan omelan Ibu Muda Riyana. 
"Swastika Bebek"
"Hah?" aku tercengang mendengar nama belakangku dipanggil Bebek oleh teman sebangku yang bahkan belum memperkenalkan diri
"Itu, Swastika BK" dia menunjuk nama yang tertulis di sampul bukuku.
Aku memang paling malas menuliskan nama lengkapku yang cukup panjang, Swastika Berliana Kusumawardhani"
"Oh" aku tersenyum lebih tepatnya meringis, canggung dengan perkenalan awal ini namun juga menyukai keisengannya. Kuulurkan tangan dan memperkenalkan diri
"Namaku Swastika Berliana Kusumawardhani, kamu?"
"Riyana" dia menyambut tanganku dengan penuh semangat
Aku menunggunya menyebutkan nama lengkapnya.
"Riyana. Udah itu saja, namaku singkat, Riyana"
"Oh, hi, Riyana Saja"
Sejak saat itu kami menjadi sangat dekat, bukan hanya di sekolah kami juga bermain bersama diluar jam sekolah. Setiap masa ujian, kami secara bergantian menginap. Aku memanggilnya beruang madu bukan karena tubuhnya yang besar tapi karena sifatnya yang pemarah, Riyana adalah primadona sekolah. Cantik, tinggi, langsing, berkulit eksotis, senyumnya manis dan kerlingan matanya mematikan. Namun kalimat yang tersembur dari mulutnya saat marah jauh lebih mematikan, dan amarahnya sangat mudah tersulut bahkan hanya karena hal-hal sepele seperti tukang siomay lewat saat dia sedang diet atau pacarnya menjemput 10 menit lebih awal yang membuatnya harus terburu-buru dandan. Setelah menikah, beruang madu tak lagi ganas, sosok Rendi yang tenang dan tidak pernah menuntut apapun menjinakkan sedikit demi sedikit keganasan beruang madu. Tapi beruang madu tidak pernah jinak didepan Bebek, apalagi kalo sudah menyoal kehidupan asamaraku yang sangat buruk. Ahh.... sayang sekali, hari ini aku tidak mendengar omelannya. Sepertinya kali ini aku harus sendiri saja memikirkan kegundahanku. 

Kuseret kakiku meninggalkan pelataran masjid dan menunggu taxi, pulang! Getaran dari dalam kantong jaketku menumbuhkan harapan, kulihat nama dalam layar dan senyum mengembang lebar penuh harap.

“Sorry tadi gw lagi di kamar mandi. udah pulang Tik? 
Sejuk sekali suara sahabatku ini
“Udah… lo ada acara malam ini?
"Party dunx bu! Long weekend gitu loh”
"Oh.. "
hanya itu jawabanku, datar.. tak bersemangat. pada satu orang ini aku tidak bisa menyembunyikan apapun perasaan hatiku
"Gw becanda koq, di rumah aja. Ada beberapa foto yang harus di edit dan 2 laporan yang malas banget gw kerjain. Lo mau bantu?"
"hmm..." Mau! Tentu saja aku mau. Apa saja selain bertarung dengan diri sendiri. 
Mataku mulai panas, aku tidak ingin menangis, aku hanya ingin menjawab pertanyaan Tony tapi tenggorkanku kering dan kalimatku tercekat diujungnya.
Tik.. kamu kenapa? Kamu ada masalah?
"Tik!! Tika!! Sekarang kamu dimana? "
Kecemasannya sebuah perhatian tulus yang selalu ada dalam diri Tony sahabat baikku bagaikan siraman air yang membasahi tenggorokanku.
"Aku masih di jalan, baru pulang dari kantor. Ton.. boleh aku main ke tempatmu?"
"Engga’ Tik, ngga’ boleh!! 
Lo sekarang pulang, mandi, istirahat dan jangan kemana-mana. 
"Gw ke kontrakan lo sekarang juga, lo denger gw Tik?"
"Thanks Ton."



Kebahagiaanku adalah keberadaan ketiga sahabatku, 2 kutemukan saat kuliah Tony dan Widi sedangkan seorang lagi, Riyana sudah menjadi sahabatku sejak memasuki SMP. Aku dan Riyana terpisah sejak kelulusan SMA, setelah Riyana menyelesaikan kuliah D3-nya dia memutuskan untuk menikah dan sekarang dikaruniai si kembar Keysa dan Kayla namun kesibukannya mengurus keluarganya tidak membuatnya kehilangan sahabat-sahabatnya. Widi yang kemudian bekerja di perusahaan finance 2 tahun lalu dipindahkan ke Manado, hubungan kami terjalin melalui dunia maya dengan sangat intens karena hampir setiap hari kami selalu terhubung online. Tony menjadi sahabatku yang paling dekat karena setelah menyelesaikan kuliah, kami kemudian bekerja di kota yang sama. Seperti janjinya yang tidak pernah diingkarinya, sore inipun dia muncul didepan pintu rumah kontrakanku dengan bahu yang siap menjadi sandaran kepalaku dan tangan yang siap menarikku dari bintang kematian.

Aku dan Tony menjalin persahabatan dengan cara yang tidak pernah dimengerti orang-orang disekitar kami, kami saling mengisi, saling memahami, saling mendukung dan mungkin juga saling mencintai seperti yang banyak dituduhkan, tapi aku dan Tony mengagungkan persahabatan yang sudah kami jalin sekian lama. Dialah satu-satunya orang yang melihat mataku berbinar dan keangkuhanku tertundukkan pada tanggal 8 Maret itu dan aku adalah satu-satunya orang yang dimintai pendapat akan rencana perjodohannya. Aku telah terpasung dan dia telah terbeli, sehati namun tak sepelaminan, begitulah kami meyakinkan bahwa tidak akan ada yang merusak persahabatan kami. Ia duduk disampingku menatapku dengan keprihatinan mendalam

"Apa ini karena Dimas? "
Aku hanya meliriknya sebentar dan menegakkan kepalaku menahan airmata yang mulai mengisi pelupuk mata.
"Mungkin…. "
"Bukankah baru sehari yang lalu lo bilang bisa melewatinya dengan semua pekerjaanmu itu"
"Aku bisa melewatinya, aku yakin bisa melewatinya tanpa kecengengan seperti sekarang ini. 
Aku membutuhkan lebih banyak oksigen untuk dapat mengungkapkan perasaan bersalahku
"Sore tadi aku kembali melakukan kebodohan. Yudha ngajakin gw makan malam dan gw menolaknya dengan alasan konyol dan sekarang gw menangisi kebodohanku karena masih mengejar bayang-bayang Dimas sekaligus mengacuhkan Yudha yang berdiri dihadapanku." 
Tony mengusap-usap kepalaku sambil tertawa kecil
"Bodoh… selain bodoh, lo juga munafik” 
Aku membiarkan tangannya yang merengkuh kepalaku untuk bersandar dibahunya yang lebar.
"Lo tau Tik.. gw sudah lama tahu lo mencintai Yudha melebihi perasaan lo pada Dimas, tapi lo menutupinya begitu rapih bahkan dihadapan temen sekantormu, mereka pikir Yudha akan bertepuk sebelah tangan melihat kecuekan lo. 
Kenapa Tik… apa yang lo takutin dari Yudha?"
Aku tidak terkejut kalo Tony bisa mengendus kenyataan yang ada, tapi pertanyaannya justru mengejutkan
"Ini bukan karena masalah takut Ton....ta"
"Oh iya bener, ini bukan karena masalah takut."
Toni memotong dengan cepat sebelum berjuta alasan keluar dari mulutku
"Lo ga’ pernah takut pada apapun atau siapapun yang lo hadapi. Lo wanita mandiri dan pemberani, tapi lo justru takut pada diri lo sendiri. Lo takut dengan keegoisan dan keras kepalamu itu menggagalkan hubungan lo dengan Vito. Lo takut dengan penampilan lo yang biasa aja dan prestasi lo yang standar tidak bisa mengimbangi seorang Dimas yang begitu ganteng, hebat, kaya dan 3 tahun lebih muda dari elo, parahnya lo tidak percaya Dimas bisa tulus mencintaimu. Sekarang mungkin lo njelasin ke gw alasan lo menolak kehadiran Yudha kalo memang ini bukan karena katakutan semata?

Kali ini aku benar-benar terkejut dengan kebenaran yang digelar Tony, benarkan semua karena ketakutanku semata? Gw cuma merasa Yudha terlalu baik buat gw dan sepertinya umi-nya Yudha juga tidak menyuaki kebersamaan kami. Ini bukan takut, gw hanya menjaga agar hati ini tidak berharap terlalu tinggi.

"Lo mandi dulu sanah, dandan yang cantik, malam ini kita kencan. OKAY?!!”
Mataku terbelalak mendengar ucapannya yang tidak biasa.
"Udaah sana mandi, yang penting qt keluar cari udara segar. Ayo!! 
Jelek tau kalo tampang lo bego gitu, buruan. Nanti qt pikirin aja sambil jalan."
Dengan enggan aku turuti saja kemauan Tony. Mandi memang menyegarkan pikiran, tapi dalam kondisi ini aku ingin mandi dengan tingkat kecepatan seekor Sloth. Bukan mandi 5 menit sekadarnya.
"TIK!!" 
Suara dengan volume yang lebih tinggi menandakan aku harus bergegas.
"Iya, ini lagi milih baju"
"Siapin baju ganti sekalian, kamu butuh liburan!"
AH!! Benar sekali, libur panjang sudah seharusnya tidak dihabiskan untuk memikirkan pekerjaan apalagi memikirkan orang yang tidak jelas keberadannya.
"Liburan? Kemana?"
"Kemana lagi? 
Nengokin rumah kita lah! Buruan gih!"
Ide yang hebat!

No comments:

Disini, untuk Sebuah Janji

Generasi masa kini mungkin telah memiliki pemikiran yang terbuka dalam mendefinisikan kewajiban anak kepada orang tua. Dari banyak opini di ...