Monday, February 8, 2021

The Last Ride


Sabtu malam tanggal 20 Agustus 2016, kereta Taksaka mengantarkanku kembali ke Jakarta. Sebenarnya aku ingin pulang minggu malam, tapi sudah tidak ada tiket lagi. Malam itu kondisi Bapak agak menurun, tapi aku memiliki keyakinan hari Rabu sesuai jadwal RS, akan dilakukan pemeriksaan menyeluruh terkait kondisi paru-parunya. Aku hanya kembali ke Bogor untuk melakukan meeting hari Selasa, karena kami sedang mempersiapkan acara tingkat nasional. Aku tidak pernah menyangka, Sabtu malam itu adalah pertemuan terakhirku dengan Bapak. 

Bapak masuk RS pada tanggal 12 Agustus 2016, keluhannya bukan karena Jantung tapi karena sesak dan lemas. Sudah beberapa tahun belakangan, setiap 2 minggu Bapak kontrol Jantung selain itu juga memilki keluhan yang menurut dokter spesialis penyakit dalam dikarenakan asam lambung. Aku sudah beberapa kali menyarankan pindah dokter spesialis, karena menurutku sangat aneh, asam lambung tidak kunjung sembuh tetapi tidak dilakukan endoscopy. Tapi karena faktor kemudahan dan kedekatan lokasi RS, Bapak tetap kontrol di tempat yang sama. Kakakku yang di Samarinda dan Parung pulang terlebih dahulu pada, aku diminta nanti saja untuk gantian jaga.


Senin dinihari aku mendapat telfon kondisi Bapak nge-drop, saat itu juga sekitar jam 1 dinihari aku meluncur ke rumah saudara di Cipinang. Bersama dengan kakak ipar, kami pulang dengan kereta ekonomi yang berangkat paling pagi dari Stasiun Senen. Selepas dzuhur kami tiba di Stasiun Gombong. Di pintu RS, kakak-kakakku sudah menghadangku dan mengatakan bahwa aku nggak boleh nangis, harus menyemangati Bapak. Dan itu pula yang aku lakukan setelah menciumnya dan menanyakan kabarnya. Aku bertanya dengan bercanda "Apa Bapak sakit karena memikirkan aku yang belum nikah?" Bapak hanya tersenyum. Aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, bahwa bapak juga akan sembuh dan melihatku menikah. Di dekat kepalanya, aku membacakan surat Ar Rahman, surat cinta untuk Bapakku. Kami menitikkan air mata, tapi tidak menangis tersedu, kami bisa menahannya. 

Sore harinya, ponakanku, cucu kesayangan Bapak datang dari Samarinda bersama suami dan anaknya yang baru berusia 6 bulan. Kehadiran kami membuat kondisi Bapak membaik, malam itu aku menungguinya di RS tanpa ada keluhan tanpa ada kondisi kritis. Menurut keterangan dokter, kondisi Bapak sudah parah karena ada bercak di paru yang belum diketahui apa karena keterbatasan alat CT scan dan kadar SGOT/SGPT sangat tinggi. Aku terkejut dengan keterangan ini. Bagaimana bisa, Bapak yang tiap 2 minggu kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam tidak pernah ada diagnosa terkait kondisi liver, selama ini hanya asam lambung. Dari situ aku merasa jengkel sekali dan memutuskan untuk segera memindahkan ke RS lain. Tanggal  merah dan kondisi bapak yang lemah menyebabkan kesulitan memindahkan pasien, tapi aku sudah menelfon saudara di Jogja untuk menanyakan ketersediaan ruang di Sardjito juga termasuk kost dekat RS. 

Hari berikutnya aku dibuat terharu dengan kedatangan sahabatku, sosialita Solehah Novi Dwi Hartati. Kedatangannya memberikan semangat dan keyakinan bahwa Bapak pasti sembuh. Aku tidak mengijinkan siapaun berbicara soal "pertanda" kepergian Bapak. Aku marah pada kakakku yang selalu mengulang pertanda ini itu. TIDAK!! Aku tidak melihatnya, dan selama aku bermalam di RS Bapak tidak pernah menunjukkan tanda yang aneh-aneh. Ketika Bapak tidak bisa tidur aku menghiburnya karena siang hari Bapak sudah banyak istirahat makanya malam tidak bisa tidur. Seharusnya Bapak sudah masuk ICU, tapi dokter mengijinkannya di ruang perawatan dijaga oleh anak, menantu dan cucunya. Tiap malam kami berdesakan di ruangan yang sempit memastikan Bapak ada teman bicara.

Jum'at pagi aku memperoleh kepastian RS Sarjito bisa menerima pasien, termasuk info kostan. Tinggal menunggu rujukan dari RS. Aku pulang dan membereskan rumah. Belum selesai membersihkan bak mandi aku memperoleh telfon dari kakakku kalo Bapak mendapat rujukan ke Purwokerto. Kami sekeluarga menyetujuinya, karena memang dari lokasi lebih dekat dan rumah kakakku juga tidak jauh dari RS. Hari itu drama-pun terjadi, karena kakakku bersikeras aku ikut ambulance, padahal aku masih di rumah. Aku menyuruhnya ikut ambulance, tapi dia bilang aku saja yang ikut, dia mau pulang menyiapkan yang harus dibawa. Mba Erni menunggu barang di RS, Mba Sri pulang ke rumah menyiapkan baju dan barang lainnya. Mba Endang masih di sekolah, Mas Eko sudah menunggu di Purwokerto. Aku bersyukur memiliki Ibu yang sangat kuat, hanya Ibu yang ada dalam ambulance.

Jum'at siang aku dan Mba Sri naik bis ke Purwokerto dan begitu sampai langsung masuk ruang IGD. Wajah Bapak sangat cerah dan tenang, aku menanyakan bagaimana perjalanannya ke Purwokerto dan apa yang dirasakan. Bapak bilang dia baik-baik saja. Setelah mendapat kamar, kami mengikuti perawat yang mendorong Bapak melewati koridor panjang dan berbelok-belok. Kali ini mendapat kamar sangat luas dengan balkon yang bisa digunakan untuk istirahat dengan nyaman, karena aturan di RS ini penunggu tidak boleh tidur di lantai kamar perawatan. Drama berikutnya adalah ponakanku ingin mempertemukan kembali anaknya dengan Mbah Buyut tapi dilarang satpam, walaupun sudah memohon dan menangis tapi tetap tidak diijinkan. Walaupun kecewa tapi kami menenangkannya yang penting Mbah udah pernah ketemu buyutnya. Malam itu aku, Mba Endang dan suaminya menunggu di RS. Yang lain istirahat di rumah Mas Eko. Kondisi Bapak terlihat baik.

Sabtu sore Bapak terlihat lebih lemah, biasanya kami menggantikan pampers-nya dengan cukup mudah tapi waktu itu Bapak sudah lemah. Sabtu malam aku berpamitan dan berjanji Selasa malam aku pulang lagi untuk menemani pemeriksaan hari Rabu. Taksaka belum lama meninggalkan Cirebon ketika kakakku menelfon mengabarkan kondisi Bapak nge-drop lagi. Perasaanku tidak menentu, apakah aku harus kembali? Kakakku meminta jangan langsung ke Bogor dahulu, aku menunggu di Cipinang. Dan setelah mendapat kabar kondisi Bapak sudah membaik aku kembali ke Bogor. Setiba di Bogor aku segera mengirimkan email ke kantor terkait persiapan acara. Aku ingin persiapan rapat hari Selasa beres. Senin dini hari aku mendapat telfon. Setiap mendapat telfon dari keluarga perasaanku tidak menentu. Kali ini Bapak ingin bicara, beliau mengatakan

"Ndah, ikhlasin Bapak ya....."

Aku menangis tak terkendali, luapan emosi yang sudah lama kutahan tak terbendung lagi. Aku tidak merelaknnya tapi aku juga tidak ingin membebani Bapak.

"Aku ikhlas Pak, ikhlas...."

Pagi dinihari itu kami mengaji bersama, jika biasanya aku bisa duduk bersama keluarga kali ini aku membaca sendiri didalam kamar kost hanya bisa mendengar suara keluargaku mengaji dari sambungan telfon. Keesokan paginya, kondisi Bapak kembali stabil. Keluarga mempertimbangkan untuk memasang  selang makan, karena Bapak sudah susah makan, padahal obat-obatan masih diperlukan. Aku menyerahkan semua keputusan ke kakak-kakakku, aku tidak akan komplain apakah akhirnya dipasang atau tidak. Semua pasti punya pertimbangan masing-masing. Malam itu suasana agak tenang, aku yakin Bapak bisa bertahan hingga jadwal pemeriksaan tiba. Selasa pagi aku berangkat ke kantor dengan membawa ransel, setelah rapat aku akan pulang.

Adzan Dhuhur berkumandang dari Masjid di dekat kantor ketika aku menerima telfon Mba Erni, hanya ada suara tangisan dan kalimat "Ndah, Bapak Ndaaaaah". Tidak ada yang lain! Aku bingung, kalut. Aku segera mengambil air wudhu, lalu sholat dan berdo'a semoga Bapak belum meninggal. Selesai sholat aku bergegas ijin pulang karena kondisi Bapak kritis. Aku meyakinkan diriku bahwa Bapak belum meninggal. Ketika kakak ipar menelfon, aku tidak bisa menipu diriku lagi. Aku menuju Stasiun Bogor dengan menumpang Gojek, ponakanku yang belum lama tiba di Samarinda menelfon dengan histeris. Kami menangis, hanya menangis dan meracau tidak menentu, kami tidak percaya, kami tidak rela. Aku masih berderai air mata ketika abang gojek mengucapkan belasungkawa, ketika ku tap kartu di stasiun, ketika beberapa sahabat dan kerabat mengucapkan belasungkawa. Aku tidak tahu akan naik kereta apa, tapi aku tahu aku akan pulang. Aku menghubungi Mba Endang yang saat itu menunggu kedatangan jenazah Bapak di rumah, aku minta Bapak jangan dikuburkan selama aku belum pulang. 

Sepupuku di Bekasi menelfon dan memintaku pulang bersama mereka, aku keluar stasiun Bogor dan bersama sepupuku yang lain aku ke Bekasi, berkumpul disana untuk bersama-sama pulang. Sekitar pukul 1 dinihari, kami tiba di rumah. Saudara dan tetangga masih banyak yang berkumpul, kakiku lemas dan entah bagaimana aku bisa tiba di depan jasad Bapak yang terbujur kaku. 

Bapak tidur dan tak mau bangun lagi.

Tangisan tidak membangunkannya, kesedihan tidak mengembalikannya.

Aku sudah berjanji mengikhlaskannya.

Esok paginya, tanggal 24 Agustu 2016 dengan dipanggul anak cucu dan saudara, Bapak mengendarai kendaraan terakhirnya menuju peristirhatan terakhir. Kecuali Mba Sri, kami semua tegar dan kuat bisa mengantar hingga pemakaman. 


Bapak tidak memberi kami cukup waktu untuk merawatnya, tapi kami yakin Bapak sangat senang dengan keberadaan kami selalu disisinya. Aku tidak memiliki kesempatan menuntun Bapak di saat terakhirnya, tapi ada Mba Erni, Mas Eko dan Ibu yang membimbingnya selalu mengingat pada Allah SWT. 

Semoga Allah SWT mengampuni semua dosa beliau dan menerima seluruh amal baik Bapak dapat diterima Allah SWT.

No comments:

Disini, untuk Sebuah Janji

Generasi masa kini mungkin telah memiliki pemikiran yang terbuka dalam mendefinisikan kewajiban anak kepada orang tua. Dari banyak opini di ...