Friday, March 14, 2014

Ibu, I love you

Dia anak desa, putri seorang petani dan penjual kembang. Pada masanya, lulus sekolah menengah pertama sudah cukup, walaupun sebenarnya dia ingin sekali sekolah guru atau sekolah perawat. Mendengarkan ceritanya saat sekolah adalah hal yang sangat menyegarkan. Tidak mengherankan bibit jahil, iseng, cerewet, hiperaktif menurun kepada anak-anaknya.

Dia istri seorang prajurit dengan pangkat rendah. Membesarkan 5 orang anak tanpa dukungan penuh suami yang sering ditugaskan membutuhkan tenaga yang luar biasa besar. Bukan hanya mendidik anak-anak tapi dia juga membantu perekonomian keluarga seperti juga yang dicontohkan ibunya, berjualan kembang. Setiap senin wage dan kamis wage saat mentari pagi baru saja mengintip anaknya akan mendapat tugas mengantarkan dagangan ke pasar. Tugas turun temurun dari yang tertua hingga pada si bungsu.

Dia wanita yang terkenal, orang pasar mengenalnya sebagi penjual kembang, tetangga mengenalnya sebagai wanita penggerak PKK, partai mengenalnya sebagai kader partau kuning, organisasi mengenalnya sebagai ibu PERIP. Hampir semua mengenalnya sebagai orang yang luwes berbicara dan banyak yang menduganya sebagai istri judes, ibu cerewet dan mertua galak.



Beliau adalah ibuku.
Beliau adalah pilar kokoh yang mendukung rumah kami.
Beliau bukan tipe istri yang menuntut perhiasan indah menghiasai leher dan tangannya saat kondangan, bukan juga yang bersuara lantang meladeni omelan suami, bukan pula yang membanting pintu meninggalkan permasalahan. Beliau bukan ibu yang membentak anaknya saat rewel, bukan juga yang mencubit anaknya saat nakal, bukan pula yang asyik dengan televisi/radio saat anaknya membutuhkannya. Beliau bukan mertua yang menuntut menantunya untuk membiayai hari tuanya, bukan juga mertua yang memaksa menantunya untuk berlebaran dirumahnya, bukan pula mertua yang menyalahkan menantu atas masalah keluarga.

Banyak hal yang ingin aku tiru dari banyak hal yang beliau contohkan, namun sangat sedikit yang dapat kuterapkan. Beliau suka sekali berbagi makanan dengan tetangga, meskipun pernah dicibir ada pamrih karena pengen anaknya diambil menantu tapi hal itu tidak menyurutkan kegemarannya berbagi. Beliau mudah sekali melupakan hinaan dan kata-kata kasar dari tetangga bahkan kakaknya sendiri bahkan membalasnya dengan bantuan tanpa sedikitpun mengharapkan permintaan maaf apalagi balasan yang sepadan. Beliau suka sekali berkunjung ke rumah saudara dan teman, walaupun kendaraan yang kami miliki hanya sepeda. Masih lekat dalam ingatan aku didudukkan di boncengan sepeda yang sudah diberi alas kain/jarit dan kakiku diikat kedepan agar tidak masuk ruji sepeda, melewati jalanan tidak beraspal ke rumah saudara. Jika perjalanan jauh, ibu sudah menyiapkan bekal makan dan minum tidak lupa oleh-oleh dimasukkan kardus bekas mie/rokok.

Keberadaannya sebagai ibuku adalah nikmat terbesar dari Allah SWT. Jika junjungan besar menempatkan ibu 3x lebih tinggi dari seorang bapak maka beliau bagiku 100x lebih tinggi. Kecintaanku dan penghormatanku jauh jauh jauuuh jauuuuuuuuuuuuuh lebih besar daripada sosok bapak yang tidak kukenal saat kecil dan susah sekali aku kenal saat besar bersamanya.

Ibu, I love you

No comments:

Disini, untuk Sebuah Janji

Generasi masa kini mungkin telah memiliki pemikiran yang terbuka dalam mendefinisikan kewajiban anak kepada orang tua. Dari banyak opini di ...